Krisis Kepakaran Dan Intelektulitas Rendah

 Penulis : Magriza Apriansyah

Dunia mengalami krisis kepakaran dan banyak sekali intelektualitas manusia yang sangat rendah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan seluruh orang ingin berbicara di muka umum tentang suatu hal yang sedang hangat dan ingin dianggap menjadi pakar bilamana sedang berbicara, serta setiap orang berbicara tanpa ada pakem atau aturan yang menandakan intelektualitas yang begitu rendah. 


Dibuktikan pada saat pemilu 2019 setiap orang berbicara tentang politik hingga ke akar rumput, namun hal tersebut justru menimbulkan pertanyaan atau polemik karena bilamana setiap orang berbicara demikian lalu beberapa hal belum teruji secara kebenarannya maka dapat menimbulkan ketidakaturan stabilitas negara sampai akar rumput.


Lalu intelektualitas rendah pula dapat dibuktikan dalam setiap pembicaraan ruang publik di Indonesia, dimana orang Indonesia mudah marah dan mudah tersinggung karena ketidaktahuannya dan setiap orang mudah sekali menerima dan menyebarkan hoax dengan demikian tanda sumber daya manusia di Indonesia mengalami penurunan intelektualitas. 


Namun setiap orang mendasarkan seluruh pendapatnya atas nama kebebasan berpendapat di muka umum, secara realita banyak sekali penafsiran kebebasan berpendapat di muka umum secara kebablasan hal tersebut sebagai tanda bahwa saat ini mengalami krisis kepakaran dan intelektualitas yang rendah.


Krisis kepakaran dimulai dengan orang-orang yang mengerti tentang permasalahan dan cara menyelesaikannya namun masih bersifat diam dalam rangka mencari aman pada diri sendiri dengan berlindung pada kalimat "bersikap netral", padahal sudah lama seorang filsuf dari Italia bernama Dante Alighieri mengatakan "tataran neraka yang paling rendah ditempati oleh orang-orang yang mencoba netral di saat krisis moral sedang terjadi" hal tersebut menandakan bahwa orang-orang yang mengerti tentang permasalahan tersebut memberikan lampu hijau terhadap kesalahan yang ada. 


Lalu tahap krisis kepakaran dilanjutkan dengan orang-orang yang tidak paham pada suatu hal (intelektualitas yang rendah) diberi suatu hak, jabatan, ataupun kursi dan boleh berpendapat tentang hal tersebut dengan contoh siapa pun boleh memberikan komentar terkait suatu permasalahan yang bukan pada bidangnya ataupun tidak tahu hal tersebut padahal seorang Guru Bangsa KH. Abdurahman Wahid atau kerap disapa Gus Dur mengatakan "negara ini hancur karena kebanyakan pakar" hal tersebut diterjemahkan melalui bahasa penulis yaitu setiap orang boleh berbicara tentang suatu permasalahan.


Krisis kepakaran dilanjutkan di perparahnya intelektualitas yang rendah dimana banyak berdialektika, padahal Dialektika yang diajarkan oleh Hegel seorang filsuf dari Jerman tentang "Dialektika" yaitu tesis (penyakit), antitesis (pemberian racun), sintesis (jalan keluar), namun saat ini dialektika diartikan sebagai bertele-tele hal tersebut jauh sekali dari ajaran filsafat Hegelian atau filsafat Hegel. 


Terakhir krisis kepakaran dengan intelektualitas yang rendah dihadapkan dengan manusia yang memacu pada hasil tidak dengan usaha, hal tersebut memperparah dampak keilmuan yang ada saat ini.


Krisis kepakaran ataupun intelektualitas yang rendah di pengaruhi oleh Intelegensi, Emosional dan Spritual hal tersebut sangat erat untuk membentuk karakter pakar yang berintelektual tinggi. Intelegensi atau pengetahuan menjadi dasar yang kongkret dalam rangka menjadi pakar, sebab intelegensi membangun dasar pemikiran yang kokoh dimana teori dan praktik sebagai wawasan dalam rangka menjawab segala permasalahan saat ini atau dikemudian hari. 


Emosional pula begitu penting menjadi penyeimbang dimana setiap pakar tidak boleh menampakkan pemikiran yang labil terlalu banyak di muka publik, serta emosional mengendalikan cara kerja otak dalam rangka menjawab segala permasalahan dengan kata lain menjaga emosional merupakan jembatan antara penggunaan teori untuk di praktikkan dan realitas yang ada di lapangan agar tidak muncul kekakuan dan nafsu pribadi. Spritual yang berhubungan dengan kejiwaan pula penting menjadi pakar dan menumbuhkan Intelektualitas di muka publik, sebab bilamana jiwa yang tidak stabil dan memiliki ketakutan akan suatu hal berpengaruh pada emosional.


Krisis kepakaran juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi pada saat ini, dimana teknologi hari ini sudah banyak berubah dengan cepat seperti kecepatan cahaya. 


Tanpa disadari krisis kepakaran dan menurunnya intelektualitas dipengaruhi oleh kemajuan dengan contoh setiap manusia dapat menggunakan teknologi yang canggih dalam rangka membangun intelektualitas atau bahkan teknologi hari ini menimbulkan kemalasan sehingga umat manusia tidak bisa menggunakan dalam rangka membangun intelektualitas bahkan hanya memanfaatkan semata-mata sebagai hiburan masa kini. 


Maka atas nama besar kemajuan teknologi pada saat ini harus ditunjang pula dengan kebijaksanaan dalam memakainya, atau hari ini hanya dibiarkan begitu saja "we make smartphones and make the users stupid"


 Krisis kepakaran dan intelektualitas ditinjau dari sosiologi juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang tidak begitu tinggi sehingga tidak banyak munculnya pakar dan intelektualitas yang semakin menurun. Pecahan sosial yang semakin tinggi dengan mengedepankan primordialisme, menganggap kaumnya paling benar. 


Tingkat persebaran ekonomi yang tidak begitu merata sehingga tidak bisa mengalami pendidikan. Dan beberapa kebijakan yang mungkin dirasa dapat mengambat melahirkan pakar dan menumbuhkan intelektualisme.


Seharusnya dengan bonus demografi di suatu negara dengan contoh di Indonesia mampu melahirkan pakar baru dan melahirkan setiap orang dengan intelektual tinggi. 


Serta bertambahnya kemajuan teknologi dengan di iringi dengan kebijaksanaan juga mampu menjawab permasalahan ini, karena teknologi merupakan alat yang dibuat oleh manusia dalam rangka mempermudah manusia, logikanya tidak mungkin alat yang dibuat oleh manusia lebih pintar dari pada manusia itu sendiri. 

Komentar

Postingan Populer