Korupsi Birokrasi Di Indonesia (Studi Analisa Korupsi Dan Hukum Di Indonesia)

Penulis : Magriza Apriansyah 

Korupsi masih banyak terjadi di Indonesia, menurut Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International di tahun 2022 dimana mencatat Indonesia memiliki skala 34 dari indikator 0-100, angka tersebut menurut sejumlah 4 poin dari tahun sebelumnya sehingga hal tersebut dapat menjatuhkan  urutan IPK Indonesia secara global. Penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mungkin menjadi acuan Transparency International dalam menentukan skala indeks persepsi korupsi di Indonesia, seperti penambahan kasus korupsi, penegakkan hukum dalam menindak kasus korupsi dan kebijakan publik tentang penindakan kasus korupsi. Mungkin muncul pertanyaan bagaimana kasus korupsi selalu terjadi di Indonesia namun belum ada formulasi dalam menyelesaikan kasus tersebut. Bilamana melihat dengan kacamata realitas di Indonesia kasus korupsi banyak sekali terjadi di bidang birokrasi, dengan suatu contoh setiap pemimpin yang terpilih melalui pemilihan publik yang banyak menjadi tersangka kasus korupsi sehingga memunculkan hipotesa awal bagaimana sistem pemilihan pemimpin di Indonesia dengan indikator pemimpin dari pemilihan publik yang menjadi tersangka, apakah mungkin sistem ini sudah baik dan/ atau berjalan dengan baik ?. Pada dasarnya permasalahan korupsi merupakan kejahatan yang paling berat bahkan beberapa tulisan para sarjana mengatakan kasus korupsi merupakan kejahatan Hak Asasi Manusia, sehingga kasus korupsi sebenarnya harus diselesaikan dengan baik atau bahkan dengan metode pencegahan yang baik.

Seharusnya dalam rangka membenahi kasus korupsi di Indonesia harus ada reformasi dalam rangka membentuk formulasi penindakan (kuratif) dan pencegahan (preventif) kasus korupsi di Indonesia. Indonesia masih menerapkan penindakan kasus korupsi menjadi fokus dalam reformasi hukum tentang masalah korupsi, padahal secara azas hukum menjelaskan penindakan atau sanksi pidana merupakan senjata terakhir dari hukum tersebut "Ultimum Remidium", sebenarnya dalam rangka pendidikan dan komitmen dalam menegah korupsi di Indonesia dapat melalui pencegahan yang sangat terpelajar. Berbasis studi komparatif hukum dan analisis di berbagai negara, dimulai dari negara otoritarianisme penindakan masalah korupsi dengan cara menghukum setiap orang yang dikatakan sebagai terdakwa korupsi 1 sampai 2 orang dalam rangka memberikan edukasi dan hukuman yang setimpal untuk masyarakat, namun hal tersebut berbeda hasil dimana bilamana setiap orang yang dihukum dalam rangka memberikan edukasi kepada masyarakat padahal pada negara berbasis otoritarianisme sistem negara tersebut sudah korup pertama kali dibentuk. Beberapa negara maju dengan sistem demokrasi atau egaliter dalam menyelesaikan masalah korupsi dengan cara pencegahan (preventif) dan pemberian sanksi (kuratif), namun beberapa negara yang menerapkan hal tersebut sangat ketat masalah pencegahannya sehingga sistem atau birokrasi yang dibentuk dapat menyelesaikan masalah pada hari itu dan masa yang akan datang, sehingga hukum akan bersifat preskriptif sehingga hukum tidak berlaku surut.

Pencegahan dalam masalah korupsi di Indonesia dapat dilakukan dengan cara membenarkan sistem atau birokrasi yang ada, dengan tolak ukur :

1. Dalam pemilihan menjadi pejabat publik , semisal menjadi pejabat publik yang melalui pemilihan langsung oleh rakyat melalui media partai politik harus dibenarkan sistem atau birokrasinya. Hari ini beberapa orang yang mencalonkan diri ingin menjadi pejabat publik harus dengan biaya yang sangat mahal karena sistem pendanaan partai politik yang tidak diatur oleh negara secara rinci yang akan memunculkan setiap orang harus mencari dana untuk diri sendiri dan partai untuk menang. Studi komparatif dilakukan lagi dalam menganalisis dan mengkaji hal tersebut, dengan suatu contoh di negara amerika serikat partai politik boleh dibiayai oleh pihak ketiga (dengan contoh pebisnis) namun hal tersebut diatur secara ketat sehingga partai politik tersebut dapat mengkampanyekan supaya partai politik tersebut dapat menang dalam pemilu. Adapula sistem pendanaan partai politik yang dilakukan oleh negara jerman yang tidak sepenuhnya dibiayai oleh negara namun setiap partai politik yang ada dapat mendirikan yayasan sosial dalam rangka mencari dana untuk memenangkan partai ataupun perseorangan sehingga beban negara tidak menjadi besar dalam setiap kepemiluan. Bila dilihat dari kedua negara tersebut pencegahan korupsi dalam sistem ataupun birokrasi dapat dilakukan, maka tidak ada termin atau kesempatan lain dalam mencari dana untuk diri sendiri dan partai politiknya.

2. Terdidiknya sistem negara dalam seleksi setiap orang untuk menjadi aparatur atau pegawai negeri yang menjadi pengabdi negara. Sistem atau birokrasi negara dalam seleksi setiap orang yang akan mendaftarkan diri dalam rangka pengabdian kepada negara menjadi aparatur ataupun pegawai negeri harus adanya transparansi, sehingga munculnya kaum-kaum terdidik dan kompeten dalam bidangnya. Birokrasi tersebut pula harus dilakukan dengan baik sehingga tidak munculnya korupsi birokraksi di negara ini. Dengan suatu contoh, beberapa negara maju hari ini menerapkan sistem seleksi setiap orang yang ingin menjadi aparatur atau pegawai dinilai dari kompetensi dan latar belakang orang tersebut tidak berbasis pada pragmatism transaksional (jalur khusus ataupun uang). Dan negara harus menjamin kesejahteraan setiap aparatur atau pegawai negeri sehigga setiap orang tidak bisa mencari termin lain dalam rangka membenahi kekurangan yang ada. Negara pula harus mengatur setiap orang dengan batasan umur dalam rangka pensiun dan mengatur beberapa anggota keluarganya yang mungkin tidak boleh bekerja dalam bidang yang sama di satu daerah tersebut. Misal sebuah negara menerapkan sistem pensiun dibawah 50 tahun supaya tidak menciptakan kroni-kroninya dan negara mengatur setiap aparat atau pegawai negeri dimana di dalam keluarganya tidak boleh bekerja di bidang yang sama dengan dirinya (pasangan, anak, saudara) sehingga tidak menciptakan sebuah hegemoni keluarga dalam sebuah bidang aparatur atau pegawai negeri. Terakhir negara Perancis menerapkan sistem pensiun dengan umur yang ditambah yang membuat gejolak revolusi di Perancis tersendiri dimana banyak rakyat Perancis menolak kebijakan publik tersebut, dengan alasan supaya tidak munculnya korupsi birokrasi di bidang aparatur atau pegawai negeri negara Perancis tersebut.

3. Pembuktian terbalik seorang pejabat publik sebagai pembenahan sistem sehingga munculnya transparansi di Indonesia. Pada hari ini hanya lembaga rasuah (Komisi Pemberantasan Korupsi) atau lembaga lain dalam rangka memberantas korupsi yang mencari bukti-bukti atau bahkan menyidik setiap orang atau pejabat yang diduga melakukan kasus korupsi di Indoensia, namun pembuktian terbalik justru akan membenarkan sistem atau birokrasi yang ada. Pembuktian terbalik dapat dilakukan oleh para pejabat publik dimana jumlah harta yang ada dan dari mana harta itu berasal sehingga pejabat publik tersebut tidak akan dituduh korupsi karena adanya transparansi, di Indonesia bilamana muncul persengkaan atau praduga tak bersalah dimana setiap orang ataupun sekelompok orang yang melakukan korupsi baru dicari bukti-bukti yang ada, dinegara maju setiap orang harus membuktikan harta dan darimana hasilnya sehingga tidak ada tuduhan korupsi.

4  Mengurangi anasir-anasir partai politik dalam masa pemerintahan Presiden, dimana sistem negara Indonesia memiliki sistem pemerintahan presidensialisme dimana presidensialisme memiliki sifat presiden yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Demokrasi di Indonesia memiliki ambang batas pencalonan Presiden atau presiden threshold sehingga hanya ada beberapa cara dalam mencalonkan presiden dimana cara yang pertama yaitu partai-partai besar yang sudah memenuhi parliamentary threshold mencalonkan sendiri Presiden dan Wakil Presidennya, cara yang kedua ada membentuk suatu kubu dalam demokrasi dalam rangka mencalonkan Presiden dan Wakil Presidennya. Secara realitas di Indonesia, demokrasi pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia melalui pembentukan kubu dalam rangka penguatan suara dan parliamentary threshold dimana tidak hanya satu partai yang mendukung pasangan calon tersebut.

Namun karena presidensialisme merupakan sistem demokrasi yang begitu kuat sehingga Presiden menjadi muara-muara penyelesaian masalah kenegaraan termasuk masalah korupsi di Indonesia, pertema beliau menjadi kepala negara dan menjadi kepala pemerintahan. Sehingga dalam sistem presidensialisme dimana sifatnya begitu kuat maka Presiden harus mengurangi anasir-anasir partai politik yang mendukungnya sehingga penyelesaian korupsi di Indonesia dapat terselesaikan. Karena hal yang patut kita sadari dalam sistem kenegaraan di negara ini Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki tupoksi memberantas korupsi itu tidak cukup karena setiap orang tidak bisa menitikberatkan lembaga tersebut sebagai senjata utama menyelesaikan korupsi, padahal Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan perpanjangan tangan dari eksekutif atau pelaksana atau pemerintah dari seorang Presiden. Presiden yang merupakan kepala negara  dan kepala pemerintahan harus menjadi senjata utama dalam rangka memberantas korupsi, sehingga Presiden sebenarnya harus meninggalkan anasir-anasir partai politik yang mendukungnya.

5. Open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dimana kebijakan tersebut merupakan produk hukum yang sifatnya terbuka, sehingga dapat dilihat dan dapat dikritisi oleh masyarakat itu sendiri. Namun sebelum produk hukum yang baru itu di buat, banyak sekali korupsi birokrasi yang dapat terlihat sebenarnya dalam rangka pencegahan korupsi saat membuat open legal policy (kebijakan hukum terbuka) yang baru sebenarnya dalam rangka sosial harus adanya pembenahan dalam pelaksanaanya, hukum menempatkan dirinya sebagai kontrol sosial atau social controlling dimana hukum merupakan hal yang sangat statis atau diam namun subjek hukumnya yang harus menerapkan dengan baik. Dengan suatu contoh kitab undang-undang dibuat baru mengikuti perkembangan jaman namun yang harus digaris bawahi adalah kitab undang-undang yang lama pun belum diterapkan dengan baik oleh seluruh subjek hukum sehingga munculnya korupsi birokrasi sangat besar dan memunculkan korupsi birokrasi yang lain pula, dengan kata lain kitab undang-undang yang lama belum diterapkan dengan baik maka pembentukan kitab undang-undang yang baru pun tidak begitu sempurna karena kitab yang lama pun tidak dijalankan seutuhnya. Hal yang harus dihindari adalah korupsi birokrasi dalam penegakkan hukum di suatu negara sehingga dalam rangka kedepan pembentukan hukum yang baru akan lebih baik pula.

Setiap negara memiliki celah dalam menyelesaikan masalah korupsi, hal yang paling terpenting adalah usaha setiap negara melakukan pencegahan kasus korupsi, bilamana seluruh negara hanya bersifat menghukum atau memberi sanksi kepada subjek hukum yang melakukan tindak pidana korupsi maka negara tersebut hanya memberikan gambaran kepada masyarakat atau subjek hukum yang lain bagaimana setiap pelaku korupsi itu hanya diberi hukuman, namun negara yang baik akan memberikan pendidikan anti korupsi melalui pencegahan-pencegahan supaya tidak muncul kasus korupsi, sehingga daya pikir masyarakat akan tergambar bahwa tidak mungkin ada celah untuk melakukan tindak pidana korupsi dan kasus korupsi merupakan kejahatan besar. Negara yang baik sudah memangkas setiap korupsi melalui reformasi birokrasi yang baik, bilamana korupsi birokrasi masih sering terjadi maka sampai kapanpun sebuah negara bahkan negara yang besar sekalipun tidak dapat menyelesaikan masalah korupsi.

Komentar

Postingan Populer